Aku
Selasa, 10 Juni 2014
Hari ini aku menjalani rutinitasku seperti biasa.
Berangkat sekolah dengan kendaraan yang sama, udara yang sama, dan dengan jalan
yang sama yang pernah kita lewati bersama. Semua alurnya begitu jelas, berjalan
lurus kedepan. Namun tetap saja aku masih ingin berjalan mundur kebelakang.
Disetiap perjalanan tak henti-hentinya otakku (masih) memikirkanmu sepagi ini.
Entahlah.
Setelah pertemuan singkat yang terjadi itu. Aku
merasakan getaran aneh dalam hatiku setiap bertemu denganmu, setiap kamu
menatapku dan setiap aku menatapmu. Semuanya terjadi begitu saja. Dari setiap
kedekatan kita melalui ponsel. Dari setiap pesan singkat yang kamu layangkan
keponselku. Semua perhatian yang kau berikan, dan kecupan manis berbentuk
tulisan itu pun cukup membuatku tersenyum dalam kesendirian. Ku baca berulang
kali pesan singkatmu yang cukup membuatku tidak bisa tidur semalaman.
Kurasa aku masih terjebak dalam pusaran arus deras
yang mematikan ini. Dan kamu juga yang membuatku tersesat dalam lingkaran yang
tak kuketahui setiap sudutnya. Aku ajak kamu ke masa lalu (jika mau). Masa lalu
yang “dulu” begitu indah. Disetiap ku membuka mata, kamulah orang yang pertama
kali menyapaku dengan salam hangat berbentuk tulisan. Yang mengubah hariku dari
hitam putih menjadi berwarna. Yang membuatku terjatuh ke jurang yang sedalam
dan securam ini. Yang selalu memberiku semangat dalam segala hal. Yang selalu membangkitakn
dalam keterpurukan dan keputusasaanku. Yang membuatku masih bernafas (sampai
sekarang).
Pada hari itu kita saling berjanji untuk sehati,
sejiwa, dan sehidup semati. Saling berbagi kasih sayang, saling berbagi cerita,
dan saling menjaga perasaan yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Tidak peduli
dengan apa yang dikatakan orang. Kita menjalaninya seperti air mengalir, terima
semua resiko yang terjadi meski terkadang hati yang tersakiti ditemani
kekhawatiran dalam hati. “Dulu” itu (sangat) indah bagiku.
Tapi semuanya berubah sejak kepergianmu yang
tiba-tiba hilang tak membekas. Tanpa mengucapkan “selamat tinggal”, tanpa kecupan
terakhir, tanpa ucapan “maaf” dan “terimakasih”. Ah.. Mungkin semua itu
(sangat) tidak penting bagimu. Mengapa kita bertemu tapi akhirnya berpisah?
Mengapa aku mencintaimu tapi akhirnya kau memebnciku? Mengapa kau berikan
harapan padaku tapi kau goresan luka dihatiku? Dan mengapa aku harus
melupakanmu? Bodoh! Tolol! Aku terlalu banyak pertanyaan yang tidak pernah kau
gubris sama sekali. Disini aku sendiri, merintih, menjerit kesakitan tak ada
yang menolong.
Tak ingat kah kau disaat kita untuk pertama kalinya
berdialog? Dialog yang tak pernah kuharapkan dan kaubayangkan sebelumnya.
Disebuah dataran tinggi ditemani riuh suasana gemericik air terjun dan rintikan
air hujan. Tak ingat kah kau saat dimana kita berada disatu ruangan, di satu
meja dan dua kursi yang saling berdekatan. Kau berikan kenyamanan yang tak
pernah ku dapatkan sebelumnya. Tak ingat kah kau saat sapamu diujung telepon
sebelum aku menutup mata. Kata “aku sayang kamu” yang kau berikan itu masih
terngiang ditelingaku (sampai sekarang). Haha.. Pasti kamu sudah lupa? Iya kan?
Teringat disaat kemah kelulusan, senja yang dihiasi
mega-mega, yang dihubungkan oleh garis cakrawala berwarna ungu, merah dan
oranye itu menjadi saksi. Jarimu beradu dengan senar gitar yang kau pegang.
Menyanyikan sebuah lagu yang kamu dan aku sukai. Dengan desah suara yang tidak
asing bagiku. Kuhayati, kunikmati, dan
kucerna dalam hati. Larut dalam alunan music yang (sangat) indah.
Disetiap ketidaksengajaan pertemuan singkat ataupun
kesengajaanku yang semata-mata hanya ingin bertemu dan melihat wajahmu. Dari kejauhan terlihat samar, sorot matamu
yang tidak pernah searah denganku. Aku sangat ingin memalingkan pandangan, tapi
aku tidak bisa. Bola mataku ini (sangat) ingin melihat raut wajah manismu itu.
Kupandang dengan (sangat) teliti. Kutatap dalam-dalam Ku perhatikan setiap
detailnya, takkan kulewatkan seinci pun. Tertata rapi, tak ada goresan, tak ada
cacat sedikitpun. Terlihat indah dan mempesona. Sempurna.
Kau tidak pernah anggap aku ada, terlebih perjuangan
dan pengorbananku untukmu, demi kamu seorang. Aku terlalu bodoh untuk semua
ini. Memperjuangkan seseorang yang tak seharusnya kuperjuangkan. Yang tidak
pernah menghargai perjuanganku (sama sekali). Berkali-kali kau menyakitiku,
berkali-kali menggoreskan luka dihatiku. Salahkah jika aku mencintaimu?
Berdosakah aku jika meneteskan air mata untukmu Jika iya, mengapa aku masih kau
berikan kesempatan untuk bertemu denganmu dalam bunga tidur. Meski hanya sebuah
bunga tidur. Kamu yang (masih) datang dalam mimpiku sejak perpisahan itu.
Perpisahan yang (sangat amat) ku benci.
Sudah! Sudah kubuang semua kenangan yang pernah kita
ukir selama ini. Apa aku harus membakar sekolah ini agar tidak ada lagi
kenangan yang kita buat? Atau aku ahrus membakar seluruh alam semesta ini agar
aku bisa melupakanmu? Tolong. Ingatlah! Semua itu tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Aku masih dan selalu menengadahkan tangan seraya berdoa semoga
aku bisa melupakanmu secepat kamu melupakanku. Lihatlah! Aku disini yang mencintaimu
dengan tulus tapi kau jatuhkan dengan begitu bulus. Yang masih kuselipkan dalam
setiap butir doaku. Aku tahu, pasti kamu akan menganggap aku orang gila dan
bodoh. Silahkan! Terserah kamu! Tapi memang ini hati kecilku.
“Dulu” aku sudah sangat berusaha menjaga cinta kita
yang kuat dan setegar batu karang. Cinta kita yang tidak terlihat oleh kasat
mata, yang tidak tersentuh oleh tangan nista. Disini
aku termangu, dihantui rasa rindu yang mengganggu, dibunuh sepi dalam renungku,
disiksa kesendirian dalam diamku, diseret rasa hina dalam hatiku, terhanyut
oleh rasa cintamu. Sebentar, apakah aku bilang “cinta kita”?? Haha.. Bodoh! Itu
“dulu”. Aku sudah pernah bilang kan? Kalau “dulu” itu (sangat) indah.
Disini aku sendiri, terdiam, (masih) memendam.
Memendam rasa ini sendirian. Disetiap lamunanku. aku hanya ingin kamu tahu, bahwa
aku disini menunggumu, ditemani secangkir rindu, seserpih perasaan yang
menggebu, secuil cinta yang kusimpan untukmu, dan selembar kebahagiaan jika
bertemu denganmu..