Minggu, 16 Agustus 2015



Aku
Selasa, 10 Juni 2014

Hari ini aku menjalani rutinitasku seperti biasa. Berangkat sekolah dengan kendaraan yang sama, udara yang sama, dan dengan jalan yang sama yang pernah kita lewati bersama. Semua alurnya begitu jelas, berjalan lurus kedepan. Namun tetap saja aku masih ingin berjalan mundur kebelakang. Disetiap perjalanan tak henti-hentinya otakku (masih) memikirkanmu sepagi ini. Entahlah.

Setelah pertemuan singkat yang terjadi itu. Aku merasakan getaran aneh dalam hatiku setiap bertemu denganmu, setiap kamu menatapku dan setiap aku menatapmu. Semuanya terjadi begitu saja. Dari setiap kedekatan kita melalui ponsel. Dari setiap pesan singkat yang kamu layangkan keponselku. Semua perhatian yang kau berikan, dan kecupan manis berbentuk tulisan itu pun cukup membuatku tersenyum dalam kesendirian. Ku baca berulang kali pesan singkatmu yang cukup membuatku tidak bisa tidur semalaman.

Kurasa aku masih terjebak dalam pusaran arus deras yang mematikan ini. Dan kamu juga yang membuatku tersesat dalam lingkaran yang tak kuketahui setiap sudutnya. Aku ajak kamu ke masa lalu (jika mau). Masa lalu yang “dulu” begitu indah. Disetiap ku membuka mata, kamulah orang yang pertama kali menyapaku dengan salam hangat berbentuk tulisan. Yang mengubah hariku dari hitam putih menjadi berwarna. Yang membuatku terjatuh ke jurang yang sedalam dan securam ini. Yang selalu memberiku semangat dalam segala hal. Yang selalu membangkitakn dalam keterpurukan dan keputusasaanku. Yang membuatku masih bernafas (sampai sekarang).

Pada hari itu kita saling berjanji untuk sehati, sejiwa, dan sehidup semati. Saling berbagi kasih sayang, saling berbagi cerita, dan saling menjaga perasaan yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang. Kita menjalaninya seperti air mengalir, terima semua resiko yang terjadi meski terkadang hati yang tersakiti ditemani kekhawatiran dalam hati. “Dulu” itu (sangat) indah bagiku.

Tapi semuanya berubah sejak kepergianmu yang tiba-tiba hilang tak membekas. Tanpa mengucapkan “selamat tinggal”, tanpa kecupan terakhir, tanpa ucapan “maaf” dan “terimakasih”. Ah.. Mungkin semua itu (sangat) tidak penting bagimu. Mengapa kita bertemu tapi akhirnya berpisah? Mengapa aku mencintaimu tapi akhirnya kau memebnciku? Mengapa kau berikan harapan padaku tapi kau goresan luka dihatiku? Dan mengapa aku harus melupakanmu? Bodoh! Tolol! Aku terlalu banyak pertanyaan yang tidak pernah kau gubris sama sekali. Disini aku sendiri, merintih, menjerit kesakitan tak ada yang menolong.

Tak ingat kah kau disaat kita untuk pertama kalinya berdialog? Dialog yang tak pernah kuharapkan dan kaubayangkan sebelumnya. Disebuah dataran tinggi ditemani riuh suasana gemericik air terjun dan rintikan air hujan. Tak ingat kah kau saat dimana kita berada disatu ruangan, di satu meja dan dua kursi yang saling berdekatan. Kau berikan kenyamanan yang tak pernah ku dapatkan sebelumnya. Tak ingat kah kau saat sapamu diujung telepon sebelum aku menutup mata. Kata “aku sayang kamu” yang kau berikan itu masih terngiang ditelingaku (sampai sekarang). Haha.. Pasti kamu sudah lupa? Iya kan?

Teringat disaat kemah kelulusan, senja yang dihiasi mega-mega, yang dihubungkan oleh garis cakrawala berwarna ungu, merah dan oranye itu menjadi saksi. Jarimu beradu dengan senar gitar yang kau pegang. Menyanyikan sebuah lagu yang kamu dan aku sukai. Dengan desah suara yang tidak asing bagiku. Kuhayati,  kunikmati, dan kucerna dalam hati. Larut dalam alunan music yang (sangat) indah.

Disetiap ketidaksengajaan pertemuan singkat ataupun kesengajaanku yang semata-mata hanya ingin bertemu dan melihat wajahmu.  Dari kejauhan terlihat samar, sorot matamu yang tidak pernah searah denganku. Aku sangat ingin memalingkan pandangan, tapi aku tidak bisa. Bola mataku ini (sangat) ingin melihat raut wajah manismu itu. Kupandang dengan (sangat) teliti. Kutatap dalam-dalam Ku perhatikan setiap detailnya, takkan kulewatkan seinci pun. Tertata rapi, tak ada goresan, tak ada cacat sedikitpun. Terlihat indah dan mempesona. Sempurna. 

Kau tidak pernah anggap aku ada, terlebih perjuangan dan pengorbananku untukmu, demi kamu seorang. Aku terlalu bodoh untuk semua ini. Memperjuangkan seseorang yang tak seharusnya kuperjuangkan. Yang tidak pernah menghargai perjuanganku (sama sekali). Berkali-kali kau menyakitiku, berkali-kali menggoreskan luka dihatiku. Salahkah jika aku mencintaimu? Berdosakah aku jika meneteskan air mata untukmu Jika iya, mengapa aku masih kau berikan kesempatan untuk bertemu denganmu dalam bunga tidur. Meski hanya sebuah bunga tidur. Kamu yang (masih) datang dalam mimpiku sejak perpisahan itu. Perpisahan yang (sangat amat) ku benci.

Sudah! Sudah kubuang semua kenangan yang pernah kita ukir selama ini. Apa aku harus membakar sekolah ini agar tidak ada lagi kenangan yang kita buat? Atau aku ahrus membakar seluruh alam semesta ini agar aku bisa melupakanmu? Tolong. Ingatlah! Semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Aku masih dan selalu menengadahkan tangan seraya berdoa semoga aku bisa melupakanmu secepat kamu melupakanku. Lihatlah! Aku disini yang mencintaimu dengan tulus tapi kau jatuhkan dengan begitu bulus. Yang masih kuselipkan dalam setiap butir doaku. Aku tahu, pasti kamu akan menganggap aku orang gila dan bodoh. Silahkan! Terserah kamu! Tapi memang ini hati kecilku.

“Dulu” aku sudah sangat berusaha menjaga cinta kita yang kuat dan setegar batu karang. Cinta kita yang tidak terlihat oleh kasat mata, yang tidak tersentuh oleh tangan nista. Disini aku termangu, dihantui rasa rindu yang mengganggu, dibunuh sepi dalam renungku, disiksa kesendirian dalam diamku, diseret rasa hina dalam hatiku, terhanyut oleh rasa cintamu. Sebentar, apakah aku bilang “cinta kita”?? Haha.. Bodoh! Itu “dulu”. Aku sudah pernah bilang kan? Kalau “dulu” itu (sangat) indah.

Disini aku sendiri, terdiam, (masih) memendam. Memendam rasa ini sendirian. Disetiap lamunanku. aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku disini menunggumu, ditemani secangkir rindu, seserpih perasaan yang menggebu, secuil cinta yang kusimpan untukmu, dan selembar kebahagiaan jika bertemu denganmu..


Mr.O

Aku masih duduk memandangmu dari kejauhan. Kamu yang selalu hadir dalam ingatanku. Kamu yang selalu menghiasi disela-sela rutinitask sehari-hari. Entah hal apa yang bisa membuatku seperti orang gila seperti ini. Perasaan yang datang tak tahu dari mana asalnya. Aku selalu berharap bisa berada disampingmu, Tuan. Apakah perasaan ini boleh kusebut “cinta”?? Ah.. masih terlalu dangkal untuk menyebut perasaan ini sebagai rasa (yang katanya) “cinta”.

Tak ingatkah kau saat pertama kali kita berdialog. Disaat yang lain asyik bergembira menyambut kemenangan lomba pada hari itu?? Kamu duduk tepat berada disampingku, hanya berjarak satu meter. Mungkin itu jarak terdekat yang pernah kita rasakan. Aku memulai percakapan yang tidak pernah kuharapkan sebelumnya.

O       :         (Menunduk sambil tersenyum)
S       :         “Kenapa, kak?”
O       :         “Gak kenapa-kenapa og. Malah seneng.” (Mendongakkan kepala dan berdiri)
S       :         “Semangat, ya, kak..” (Tersenyum)
O       :         “Iya.” (Membalas senyum sambil berjalan dan berlalu didepan mataku)

Sungguh, sebuah percakapan yang sangat bersejarah bagiku. Sesuatuyang masih kuingat (sampai sekarang). Disetiap pertemuan singkat yang terjadi, aku selalu mencoba untuk mengungkapkan lewat tatapan mata, sapaan hangat, dan senyum kecil dari raut wajahku. Terkadang, kamu pun membalas senyum itu dan membalas sapaanku. Setiap kamu berlalu didepan mataku, entah mengapa langkah kaki ini rasanya ingin berhenti untuk mendekapmu erat-erat. Menggenggam tanganmu dan merasakan pelukan hangat tubuhmu. Haha.. Tidak mungkin!! Apalagi saat ku dengar kamu sedang dekat dengan teman seperjuanganku. Taukah kamu, kalau kau sudah menggoreskan luka dihatiku. Terlebih disaat kamu berjalan berduaan dengannya pada malam hari di pameran itu. Hatiku tercabik-cabik tak membekas. 

Lewat kata yang kita layangkan dari pesan singkat, cukup membuatku tersenyum sendiri dalam diam.  Dirimu yang pernah menjadi peran utama dalam setiap goresan tinta di kertasku dan menjadi bagian cerita indah didalamnya, Kamu telah memikat hatiku dengan segudang harapan yang tak kumiliki sebelumnya. Tapia pa daya, hatimu  hanya untuknya. Dengan (sangat) terpaksa, aku berhenti menciantaimu. Mungkin aku memang ditakdirkan hanya untuk mengagumi (saja).

Kamu yang selalu menarik perhatianku disaat yang lain datang mengahmpiri hanya untuk menyakiti, singgah disana sini tanpa permisi. Aku masih ingat betul saat dimana kupandang wajah manismu itu. Wajah lugu berwajah oriental, banyak yang bilang wajahmu mirip dengan orang Cina, aku pun begitu. Dengan mata sipitmu, tas jinjing berwarna hitam, dan jaket berwarna hitam bergariskan biru itu menambah cirri khasmu, Tuan.

Memandangmu dengan samar dari kejauhan. Dirimu yang sedang mengenakan headset ditelingamu itu. Bersandar di tiang tembok seraya bermain handphone yang berada digenggamanmu itu.

Teringat disaat aku pingsan waktu kegiatan. Saat masih mendengar riuh suasana orang yang menggotongku ke mushola. Saat itu aku tak tahu siapa yang menggotongku. Terdengar desah suaramu saat kamu menyebutkan namaku. Ya, itu memang kamu, Mr.O. Kurasakan detak jantungmu, aroma harum segar tubuhmu, dan tepat aku berada dipelukanmu. Meski tidak sempat menjadi milikmu, setidaknya aku pernah merasakan pelukan hangat tubuhmu itu. 

Apakah kamu memang tidak mengerti? Atau hanya pura-pura tidak mengerti? Lali selama ini disetiap pagi, disetiap kita tak sengaja berpapasan, aku selalu melayangkan tatapan mataku ini padamu. Tatapan mata penuh arti yang tak pernah kau ketahui dan kau mengerti. Tak ingat kah kau di kala senja hari itu, saat aku duduk disamping adikmu. Kamu menyanyikan sebuah lagu lucu. Petikan gitarmu, jemari yang beradu dengan senar, dan desah suaramu itu masih kudengar (sampai sekarang). Terimakasih atas semua kenangan yang pernah kamu berikan padaku. Mengagumimu saja itu sudah cukup bagiku.
Dari, Pemuja Rahasiamu
Yang selalu memandangmu dari kejauhan
Aku.

Senin, 9 Juni 2014


Tentang Kamu (Lagi)
Senin, 09 Juni 2014

Aku tidak pernah berharap bisa bertemu denganmu hari ini. Tapi takdir berkata lain. Aku tidak sengaja melihatmu dari kejauhan. Dengan  samar kubuka mataku lebar-lebar. Ah… Aku terlalu bodoh untuk hal itu. Aku sudah berjanji tidak akan melihatmu lagi, tidak akan menatap kearahmu lagi, dan tidak akan berharap lagi denganmu. Mataku minus, tidak bisa melihatmu. Ingin kututup mataku dan kutulikan telingaku saat berada didekatmu. Berada didekatmu? Bodoh! Itu hanya sebuah delusi.

Melihatmu samar dari kejauhan, cepat-cepat aku meraih kacamataku dan segera menoleh kearahmu. Kuteliti, kinikmati, dan kurasakan dalam hati. Sungguh melihat seseorang dalam kebahagiaan yang begitu menyenangkan. Aku berusaha untuk memalingkan pandangan. Tapi tetap saja bola mataku hanya mengarah padamu. Kulihat sekali lagi, kamu menghilang dari pandangan. Datang tiba-tiba dan pergi tanpa jejak yang membekas. Ketika aku menoleh kebelakang, ternyata… kamu berjalan tepat dibelakangku. Sungguh! Keajaiban dunia.. Seketika aku pun memalingkan wajahku pada buku yang berada dipangkuanku.

Berpura-pura tidak melihatmu dan mengenalmu. Membungkam mulut tak ingin tahu bicara sepatah  kata pun. Semua itu tak kau hiraukan. Aku disini yang menatapmu secara diam-diam, tak pernah kau anggap sepercik pun.

Sekejap kamu berada didekatku, sekejap itu pula kamu menghilang dari pandanganku. Ya, kamu kabur dari sorot mataku entah kemana. Aku pun berusaha utuka tidak tahu apa-apa tentang keberadaan dirimu disekitar  teman-temanku. Lebih baik aku menatap buku yang berada di pangkuanku. Sesekali aku menoleh kearahmu (lagi). Kamu kembali ke tempatmu berasal tadi. (Dan lagi) tiba-tiba kamu mengahmpiri temanmu yang berada disamping ruanganku. Kamu tepat berada didepanku, terhalang temanku. 

Aku berusaha untuk berpura-pura untuk tidak mengetahui keberadaanmu dan menganggap kamu tidak ada. Semoga saja kamu tidak merasakannya. Merasakan apa? Merasakan kalau aku berada didekatnya? Hal bodoh! Menganggapku hidup saja dia tidak pernah. Apalagi menghargaiku. Aku masih menunduk terpaku dalam bukuku yang sebenarnya tidak ku baca. Menunduk dengan bola mata melirik kearahmu. Sangat jelas sekali kamu berada didepanku. 

Sebenarnya aku sudah (BOSAN) untuk menulis tentangmu. Tapi mau bagaimana lagi jika kamu yang selalu dan (masih) hadir di bunga tidurku maupun dikenyataanku. Setelah sekitar empat bulan kita tidak bersama, aku merasa baik-baik saja, diluar. Didalam hatiku, kau idak pernah tahu itu.  Ku dengar kamu telah menenmukan penggantiku, aku cukup bahagia mendengar kalian sudah menyatu. Sebagian besar lagi perasaanku sangat tersakiti oleh hal yang sangat tidak ingin terjadi itu. Terlebih saat semua itu masuk kedalam mimpiku, pesan singkat dan status fesbuk yang sangat aneh bagiku.

Kalau boleh jujur, aku selalu berharap bahwa hubunganmu saat ini akan segera berakhir. Segera berakhir dan kembalilah padaku.  Ah.. Mengapa aku bisa sebodoh dan setolol ini karenamu. Padahal teman-temanku bilang kamu sangat tidak pantas untukku, sangat tidak pantas untuk diperjuangkan. Sebenarnya aku sadar bahwa aku  memang terlalu memperjuangkan seseorang yang tidak pernah mengahrgai perjuangnkau dan menganggap keberadaanku. 

Dimalam sunyi seperti in, aku terbiasa untuk sendiri. Apalagi saat memnadang langit malam yang bertahtakan bintangg-bintang. Rasanya ingin meraih bintang terbesar itu dan melemparkannya kearahmu. Sudahlah, aku tidak ingin bergulat dengan kata-kata lagi tentangmu. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku begitu saja. Aku memang sangat munafik. Dan (dengan sangat terpaksa) aku mengakui bahwa aku (masih) menyayangi dan (mungkin) masih mencintaimu.

Aku sudah lelah dengan semua ini
Biarkan aku dekat dengan langit saja…..


Dan Lagi, Tentang Kamu...
Sabtu, 8 Juni 2014
Pukul 00.35

Hari ini, sabtu, delapan Juni duaribuempatbelas, aku, melihatmu (lagi). Setelah sekian lama kita tidak bertemu, tadi aku melihatmu untuk yang kesekian kalinya. Meski terlihat samar dari kejauhan. Saat aku menunggu temanku didepan kelas sepuluh ipees satu, aku berdiri sambil memperhatikan sekelilingku. Tidak sengaja aku melihatmu saat keluar dari ruangan tes, yaitu kelasmu sendiri, kelas sebelas bahasa. Ya, benar, itu memang kamu. Kamu berjalan dengan tas jinjing berwarna hitammu itu berjalan menerobos kerumunan orang dan berjalan menuju kelas sepuluh bahasa. Sepertinya kamu sedang menunggu temanmu.

Disaat aku mengobrol dengan temanku, aku lebih memilih untuk berpura-pura tidak melihatmu. Aku lebih memilih diam dan memalingkan pandangan bola mataku. Tapi, aku tidak bisa. Tetap saja bola mataku ini bergerak memutar kearahmu. Yang sedang bercanda tawa dengan seseorang. Sesekali aku melihatmu meski samar. Peristiwa yang kuanggap hanya sebuah delusi itu semakin mencekik mata batinku, mengaburkan pandanganku untuk terus melihat kearahmu. Wajahmu yang tersorot sinar mentari dengan tingkah lucumu itu. Saat aku ditinggal temanku (nila), aku pun berniat mengejarnya yang melewatimu. Tapi aku tidak, Lebih baik aku menghindarimu agar tidak tertabrak oleh dinding tebal yang kau buat itu untukku dan berjalan dibawahmu agar tidak berpapasan denganmu. 

Saat teringat arifa, aku pun membalikkan badan tepat setelah melewatimu. Berbalik menuju kelas sebelas ipees satu, dan menunggu arifa keluar dari ruangan tes. Saat menunggu, ternyata kamu masih didepan kelas itu. Memperhatikanmu dari kejauhan. Andai waktu itu aku memakai kacamata. Akan kuperhatikan tingkahmu dan raut mukamu dengan detail, tidak akan kulewatkan seinci pun. Dan akhirnya arifa pun keluar, tapi masih menunggu temannya. Setelah itu, kami pun berjalan melewati tempat dimana ada sosokmu diatas situ. Arifa terus saja memaksaku untuk melihat keatas, namun aku hiraukan. Aku berniat untuk menceritakan arifa tentang mimpiku semalam. Seraya makan eskrim dibelakang kelas sepuluh miia empat. Aku bercerita tentang mimpiku, lebih tepatnya tentang kamu. 

Semalam setelah aku ketiduran dengan buku sosilogi dan agamaku, sekitar jam dua aku bangun dan membereskan buku-bukuku yang berserakan itu. TIdur dan terlelap dalam dinginnya malam. Sebuah bunga tidur, tentang pesan singkat dan social media. Dalam mimpiku, tiba tiba kamu mengirimkan pesan singkat. Di pesan singkat itu kamu menuliskan bahwa kamu merindukanku dan aku pun juga merindukanmu, kamu masih sayang aku dan aku pun masih sangat sayang kamu. Pesan singkat itu sangat panjang sampai aku lupa untuk mengingatnya. 

Mengapa demikian?? Disaat aku sudah mulai lupa dengan apa yang pernah kita lakukan bersama. Tiba-tiba kamu datang dimimpiku dengan pesan singkat seperti itu. Apalagi mimpiku tentang sosmed, fesbuk. Disitu bertuliskan statusmu yang berpacaran dengan “Dia”. Dia? Dia siapa? Pacar barunya. Ya, tepat sekali, Pacarmu dari muhammmadiyah kan? Apakah tidak terbesit dipikiranmu untuk sesekali tidak menyakitiku? Hhah? Menyakitiku? Membuatku tersenyum saja aku bersyukur? Yang ada setiap malam aku (masih) meneteskan airmata untukmu. Mungkin benar, aku memang terlalu berkorban dan terlalu berjuang untuk orang yang salah, untuk orang yang sangat tidak pantas diperjuangkan. Entahlah.

Aku memang terlalu bodoh dalam hal cinta. Apa yang dikatakan teman-temanku memang benar. Dia tidak pantas untukku. Aku terlalu berlebihan untuk menyayangimu. Terlebih kemarin aku habis ulang tahun. Pasti kamu tidak mengucapkan ultah padaku lewat fesbuk kan?? Yaiyalah!!! Tidak mungkin kamu mengucapkannya. Pasti kamu lupa. Sekarang aku juga sudah ragu dan malas untuk mengucapkan ultah dan memberikan sesuatu padamu. Cukup!!! Sekarang aku mau tidur!! Aku tidak mau berkutik tentangmu lagi!